Contoh cara mengajarkan anak membaca

Cara mengajarkan anak membaca
Cara mengajarkan anak membaca

Inilah cara mengajarkan anak membaca dapat dimulai sejak usia dini. Peran orangtua di rumah sangat penting dalam cara mengajarkan anak gemar membaca.
Orangtua dapat memberi teladan dengan cara melakukan kebiasaan membaca di lingkungan rumah yang menjadi tempat bermain anak. Si anak akan melihat dan berpikir, bahwa orangtuanya memang mempunyai kebiasaan membaca.

Berbeda dengan lembaga pendidikan pra sekolah, para pendidik secara sadar atau tidak telah “memaksa” anak secepatya dapat membaca. Yakni dengan cara yang seringkali tidak sesuai dengan usia dan perkembangan anak. Mereka berdalih tidak ingin ditinggalkan konsumennya.

Hal tersebut dikemukakan oleh Direktur Pendidikan Anak Usia Dini – Ditjen Pendidikan Formal dan Non Formal Depdiknas, Dr Sudjarwo, pada sebuah lokakarya membangun budaya baca anak sejak lahir.

Menurutnya, kegiatan keaksaraan yang diterapkan di lembaga-lembaga tersebut cenderung men-drill anak melalui pemberian lembar kerja (worksheet) yang jelas-jelas tidak tepat. Buku, lembar kerja, buku mewarnai gambar, dan model-model produk seni buatan orang dewasa untuk sekadar ditiru oleh anak-anak, jelas tidak sesuai untuk anak usia dini, khususnya di bawah enam tahun.

Untuk itu, saran Dr Sudjarwo, peran orangtua di rumah sangat penting, bahkan melebihi keinginan mereka memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan. Untuk itu, ada beberapa langkah yang perlu diingat untuk bisa berperan dengan baik dalam menumbuhkan minat baca anak Anda.

Inilah rangkuman cara mengajarkan anak membaca dan menulis.

1. Tularkan budaya membaca lewat Anda. Kebiasaan membaca hanya terjadi ketika lingkungan di rumah mendukung hal tersebut, karena si anak akan melihat dan berpikir, bahwa membaca memang kebiasaan orangtuanya.

2. Bahasa lisan, itulah awal seorang anak berkeinginan membaca. Alhasil, bacakan cerita untuknya, biarkan ia mendengarnya, tertarik, dan penasaran dengan cerita-cerita Anda.

3. Lakukan hal itu dalam suasana hangat, penuh kasih sayang, serta bebas tekanan dan paksaan, sehingga kegiatan ini menjadi pengalaman yang menyenangkan buat Anda, dan anak Anda tentunya.

4. Ingat, tujuan pokok anda mengembangkan minat baca kepada anak-anak adalah mulai mengenalkan mereka kepada kekuatan dan kesenangan dalam membaca, tidak memaksa untuk mengajarkan agar mereka bisa membaca.

5. Keakraban dan kebersamaan saat Anda bercerita dan anak mendengarkan ini akan sangat berpengaruh dalam membentuk kekuatan emosional. Kekuatan inilah yang kemudian membantu anak untuk senang mengenal kata-kata, gambar, atau tulisan-tulisan, sekaligus merangsang pertumbuhan jaringan otaknya.

6. Sesekali, sampai akhirnya perlahan-lahan, Anda perlu benar-benar memberikan kesempatan kepada anak Anda untuk menggambar, yang dimulainya dengan mencorat-coret.

7. Bersikap sabar adalah kunci kematangan pribadi Anda, terlebih ketika anak-anak sudah menemukan kegemarannya dengan mencorat-coret. Justru dengan sikap sabar itulah Anda bisa mengarahkan dan membentuk kematangan unsur biologisnya dalam mempelajari coretan, sehingga lambat laun anak mulai bisa menulis kata-kata.

Dari rangkaian tahap tersebut di atas, Anda sudah mulai bisa menularkannya budaya membaca dan menulis.

Sumber inspirasi : Kompas.com

Mengajari anak berbisnis dengan Role Model

Cara mengajari anak berbisnis
Cara mengajari anak berbisnis dengan Role Model

Cara mengajari anak berbisnis menggunakan metode Role Model. Suatu metode pengajaran bisnis yang dikemas dengan keteladanan untuk anak. Jiwa wirausaha perlu ditanamkan dalam diri anak sejak belia.
Wirausaha bukan sekadar soal berjualan atau bisnis sampingan. Karakter khusus wirausahawan lebih menyasar pada kepribadian yang selalu kreatif, ulet dan gigih, percaya pada diri sendiri, dan hidup mandiri.

Mengajari anak berbisnis dengan membangun karakter wirausaha.

Anak bisa melatih dirinya sendiri untuk mempelajari karakter entrepreneur ini melalui jalur pendidikan informal. Anak dengan diberi dukungan dari orangtua dan lingkungannya. Dengan begitu, anak akan tumbuh kembang menjadi pribadi yang mandiri dan berprestasi, dalam setiap sisi penting kehidupannya.

Sembilan wanita wirausahawan, para finalis Ernst & Young Entrepreneur Award, memiliki kepedulian terhadap anak tersebut. Para wanita yang sukses berbisnis ini meluncurkan program Group Social Responsibility, yaitu program pelatihan bisnis dan wirausaha selama enam bulan bagi anak-anak putus sekolah.

Lita Mucharom, koordinator dari Group Social Responsibility, menyatakan bahwa fokus utama program CSR ini memang ditujukan bagi anak putus sekolah, dengan rentang usia 17-25 tahun, wanita, serta mempunyai semangat dan motivasi tinggi untuk mengembangkan potensi diri menjadi wirausahawan.

“Jiwa wirausaha bisa diasah dengan mengubah mindset cara berpikir dan memberikan bimbingan motivasi kepada anak dan remaja. Anak memerlukan role model atau teladan orang tua. Anak juga perlu diberikan pengertian, bahwa menjadi individu yang berbeda itu baik. Identitas diri individu tidak harus seragam, tipikal dengan kebanyakan orang. Anak harus dilatih hidup mandiri dan diyakinkan bahwa mereka bisa menyokong ekonomi nasional,” jelas Lita kepada Kompas.com. Anak memerlukan role model atau keteladanan untuk melatih jiwa kewirausahaan pada dirinya. Role model dapat berasal dari orang dewasa yang sukses dalam berwirausaha.

Contoh orang tua mengajari anak berbisnis.

Jika Lita dan 8 pebisnis perempuan ingin berbagi pengalaman pada remaja perempuan, beda lagi dengan ceritera tentang sosok Natasya Asriati (12) dari Tangerang, Banten. Gadis belia yang akrab disapa dengan Acha ini, secara alami, melatih karakter kewirausahaan sejak duduk di bangku sekolah dasar. Ketika berusia delapan tahun, Acha belajar berjualan dan menjajakan makanan yang dimasaknya sendiri, kepada lingkungan di seputaran lokasi tempat tinggalnya.

“Saat sekolah di SD, usia sekitar delapan tahun, Acha berjualan pisang goreng di depan rumah. Acha hobinya senang memasak. Ketika melihat ada buah pisang di rumah, Acha mempunyai ide untuk menggorengnya, lalu pisang goreng tersebut dijualnya di sekitar rumah. Sayang ujarnya apabila pisang itu tidak dimanfaatkan. Acha memasak pisang goreng dengan memakai kompor minyak, memasak kemudian menjualnya sendiri, tanpa minta bantuan siapapun,” katar Nurwati (50), ibunda Acha.

Nurwati mengakui, bahwa kreativitas, sifat keberanian, tampil percaya diri dan hidup mandiri Acha memang menonjol. Karakter ini tidak muncul dengan otomatis. Menurut penilaian Nurwati, kemandirian dan kepercayaan diri tercipta dalam diri Acha ini karena diperlakuan setara dan diberi kebebasan di lingkup keluarga.

“Acha adalah satu-satunya anak perempuan, dan mempunyai dua orang kakak laki-laki. Tatkala melihat kakaknya bebas bermain bola dan bermain sepeda, Achapun pun melakukan hal yang persis sama. Dan orang tus atau keluarga tidak membatasi. Walaupun begitu Acha juga senang membantu saya untuk memasak di dapur. Ia selalu bertanya segala hal tentang bumbu masakan. Dan bagaimana cara membuat makanan yang sedang diolahnya bersama saya. Dari pengalaman ini, Acha dapat belajar banyak hal,” ujar Nurwati, yang mengaku kemandirian pada diri anak perempuannya Acha sudah terlatih secara alami, tanpa konsep maupun tanpa teori.

Dari kisah melalui Acha, terbukti bahwa rasa ingin tahu anak, yang dikuatkan dengan dukungan keluarga, menghasilkan pribadi mandiri yang kreatif. Pengalaman masa kecil perempuan belia inilah yang kemudian membentuk pribadi mandiri.
Acha dikenal sebagai pribadi yang aktif dan mandiri. Setidaknya, karakter ini bisa menjadi modal dasar semangat dan jiwa kewirausahaan yang bisa terus diasah dalam diri anak muda.

Sumber artikel : Kompas.com